Jumat, 26 November 2010

Anak-anak Miskin Tanggung Jawab Negara!

Oleh Heru Suprapto*



Negara masih membiarkan anak-anak miskin menderita karena bekerja terpaksa, bodoh, sakit, kelaparan, dilacurkan, mengalami kekerasan, dan mati di jalan.
Kalimat di atas bukan tuduhan. Bukan juga provokasi. Tetapi, fakta yang kita saksikan setiap hari berlangsung lama. Fakta itu menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak anak-anak miskin di Indonesia. Bahkan lebih dari itu, negara terkesan melepas tanggung jawab dari kondisi memprihatinkan yang dialami anak-anak miskin. Semua itu harus kita akui bersama.
Harus disadari, tidak ada satu pun persoalan anak lepas dari tanggung jawab negara. Persoalan di wilayah domestik sekali pun. Dengan perspektif holistik, negara dapat berperan dalam melindungi hak-hak anak-anak miskin di mana pun berada.

Yang seringkali terjadi, pemerintah memroyeksikan pengingkaran perlindungan anak miskin kepada orang tua. Anak menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga semata. Sedangkan pemerintah hanya memosisikan sebagai mediator aksesbilitas sumber daya. Tanpa berupaya keras memberikan perlindungan atas keadaan Kusniah yang ditinggal mati ayahnya karena tidak mampu berobat dengan biaya yang mahal dan ditinggal ibunya bekerja sebagai TKW dengan ketidakjelasan nasib. Didik, yang berpotensi cerdas akademik, harus bekerja keras di jalan mencari uang dan meninggalkan bangku sekolah. Irfan Maulana yang dianiaya Polisi Pamong Praja hingga meninggal dunia. Atau anak-anak miskin lain yang dilacurkan dan menjadi korban pedofilia.
Terlantarnya anak-anak miskin bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tuanya. Tetapi juga tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan anak sebagai warga negara. Tidak maksimalnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Sosial, dan lembaga negara lainnya dalam melindungi anak-anak miskin menunjukkan bentuk diskriminasi terhadap anak-anak miskin.
Faktanya, kondisi anak-anak miskin di Indonesia berada di bawah minimum kelayakan hidup berdasarkan nilai hak asasi manusia. Di bawah jangkauan kesungguhan negara atas perlindungan anak. Mereka tidak hanya korban dari keganasan struktur sosial-ekonomi-politik yang menempatkan paksa keluarganya pada kelas terbawah, rakyat miskin, juga hampir tidak pernah diperhitungkan sebagai satu kelompok terparah dalam masyarakat yang terkena imbas langsung pemiskinan.
Negara harus mengakui bahwa tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan. Oleh karena itu, negara harus menjamin jangkauan semaksimal mungkin perlindungan, ketahanan, dan perkembangan anak sebagaimana tercatat dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Operasionalisasi konvenan itu diwujudkan dengan adanya UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meskipun kurang mengakomodir substansi dari Konvensi tentang Hak-hak Anak.
Pada Konvensi tentang Hak-hak Anak dan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, negara tidak diperkenankan melakukan tindakan diskriminatif atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. Konvenan ini didasarkan pada Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan Deklarasi Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959. Selain itu, diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal 10). Maka, pembiaran negara terhadap perlindungan hak-hak anak-anak miskin merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Perspektif hak asasi manusia memandang persoalan anak tidak terlepas dari struktur sosial dalam kekuasaan struktural. Pada struktur sosial terdapat relasi hirarki, yakni anak berelasi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sekaligus berelasi dengan negara. Relasi hirarki anak terbentuk atas pertautan usia dan posisi dalam kekerabatan yang menempatkan anak selalu di posisi subordinat. Hirarki sosial ini menempatkan anak pada kelas terbawah dan terhegemoni. Kehadiran anak selalu diwakilkan dan hak dasarnya dikendalikan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya yang seringkali tidak berperspektif anak. Sehingga, hak-hak anak berpeluang besar diabaikan di dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Untuk menghindari itu, pemerintah harus menguatkan perspektif hak anak sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Selain itu, perlindungan anak tanpa memprioritaskan perlindungan anak-anak miskin menunjukkan ketidaksungguhan dan diskriminasi dalam menjalankan agenda perlindungan anak. Paradigma yang selama ini menjangkiti para birokrat tentang anak miskin perlu diubah. Jangan lagi pemerintah menghembuskan stereotipe negatif kepada masyarakat. Sehingga menjadi legitimasi penertiban represif terhadap anak-anak miskin yang berada di jalan.
Bagaimana pun, negara bertanggung jawab atas penderitaan anak-anak miskin meskipun salah satu dari mereka bukan anak kandung dari salah satu birokrat yang bekerja untuk negara. Anak-anak miskin tanggung jawab negara!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar